Jumat, 14 November 2014


AGL
ANAK GUNUNG LAWU


Sebuah Organisasi Peduli Lingkungan dan Search And Rescue yang didirikan di Surakarta pada tanggal 10 November 1997.
Adapun basecamp AGL berada diPosko Induk, Jalur Pendakian Cemoro Kandang serta mempunyai sekretariat di Surakarta.
Tujuan AGL adalah menggagas, mengusahakan, mengkoordinasikan dan membina kegiatan kepecinta alaman guna mengembangkan mental, moral, spiritual, emosional, sosial, intelektual dan fisik sehingga menjadi seseorang yang memiliki kepedulian terhadap sesama manusia serta alam dan lingkungan.
AGL adalah organisasi yang keanggotaannya bersifat sukarela, tidak membedakan suku, ras, golongan ataupun agama.
AGL sendiri bukanlah organisasi nirlaba, bukan organisasi kekuatan politik, bukan juga bagian dari salah satu organisasi kekuatan sosial politik serta tidak menjalankan kegiatan politik praktis.


AGL berkewajiban dan berupaya dengan segala usaha dan kegiatan AGL diarahkan untuk nencapai tujuan organisasi. Usaha untuk mencapai tujuan itu diarahkan pada pembinaan mental, jasmani serta peningkatan ilmu pengetahuan teknologi, keterampilan dan kecakapan melalui berbagai kegiatan pendidikan dan pelatihan kepecinta alaman disesuaikan dengan perkembangan masyarakat dan bangsa Indonesia. Untuk menunjang usaha dan mencapai tujuan, diadakan sarana dan prasarana yang memadai berupa organisasi, personalia, perlengkapan, dana , komunikasi dan kerjasama.
Proses menjadi anggota adalah sebagai berikut :
  1. Mengisi dan mengembalikan formulir permohonan keanggotaan kepada pengurus.
  2. Mengikuti pelatihan-pelatihan yang telah ditentukan oleh pengurus.
  3. Sebagai bukti keanggotaan pengurus akan menerbitkan surat keputusan dan Nomor Regestrasi Anggota.


BERSIH DESA TRADISI KHAS MAGETAN


        Tradisi bersih desa (ada yang menyebut syukuran desa, sedekah bumi, selamatan desa) merupakan tradisi yang berlangsung di desa-desa di Jawa Timur, Jawa Tengah, DI Yogyakarta maupun Jawa Barat. Tradisi itu biasanya digelar pada saat suroan atau tahun baru Saka. Namun juga tak jarang dige- lar setelah masa panen. Tak jarang Bersih Desa di beberapa desa, baik di Magetan, MadiunPonorogo, Ngawi maupun Pacitan digelar meriah dengan beberapa pertunjungan tradisional, seperti tayub, wayang kulit, reog ponorogo, campur sari, ludruk, ketoprak, hingga orkes Melayu atau Gambus dan karnaval pawai arak-arakan. Bahkan di beberapa desa yang memiliki tempat wisata seringkah dilak sanakan besar-besaran dan meriah untuk menarik wisatawan. 
        Lihat saja di desa-desa di sekitar Te­laga Sarangan, Kec. Plaosan, Magetan, tradisi bersih desa selalu dibarengkan dan berlangsung dalam beberapa hari dalam bulan Jawa Ruwah, menjelang bulan Ramadhan. Dan puncak rangkai­an Sejak siang hari beberapa warga berkumpul di pusat dusun menunggu atraksi reog ponorogo yang akan bekeliling dusun. Lalu sorenya, warga berkumpul di makam atau punden untuk menggelar selamatan, yang dipungkasi dengan pergelaran kesenian tayub.
       Keunikan muncul saat warga berbondong-bondong ke makam dusun dan berkumpul di sebuah balai. Usai pembagian tumpeng selamatan kepada warga, maka seni tayub dimulai, yang diawali pengalungan sampur (selendang tari) kepada kepala desa. Lalu diikuti sekretaris desa dan kamituwo, dan kemudian warga yang ingin menari bersama dua pesinden.
       “Tradisi selamatan desa atau bersih desa ini digelar tiap tahun, ini sebagai salah satu bentuk rasa syukur kepada Tuhan yang sudah memberikan kecukupan hasil panen dan ketenteraman di desa,”ujar Adi Sucipto, Kades Tegalarum.
Menurut Adi Sucipto, tradisi ini sudah mengalami pergeseran sesuai jamannya. Misalnya, dulu hampir semua warga berbondong-bondong ke punden, tapi sekarang sudah berkurang. Bila dulu digelar besar-besaran hingga semalaman, tapi sekarang cukup sederhana dan tidak sampai maghrib sudah selesai. “Semua tergantung kondisi di desa masing-masing. Karena kepercayaan masyarakat, maka tiap tahun pasti diadakan meskipun sekedar selamatan di balai desa atau balai dusun,”ujar mantan anggota pasukan perdamaian PBB di Kamboja ini.
Bersih desa dilangsungkan acara rit­ual adat larung sesaji Telaga Sarangan. Selain bersyukur kepada Tuhan, melalui acara adat ini kami juga ingin memohon agar Telaga Sarangan tetap lestari dan warganya hidup sejahtera,” ujar Sunarto, sesepuh desa di sekitar Telaga Sarangan.
          Dalam ritual adat ini, Tumpeng Gono Bahu setinggi dua meter lebih, diarak dan dilarung ke dalam Telaga Sarangan. Tumpeng ini, merupakan simbol ucapan syukur warga Sarangan kepada Tuhan YME atas limpahan rahmat dan berkah selama satu tahun penuh.
Selain Tumeng Gono Bahu, masih terdapat lagi tumpeng ukuran besar yang berisi sayuran dan hasil bumi di sekitar Telaga Sarangan.
“Selain untuk melestarikan budaya, kegiatan ini juga untuk meningkatkan jum­lah kunjungan wisatawan ke Telaga Sa­rangan,” Kata Bupati Magetan, Soemantri, yang memimpin acara tersebut.