Batik Sidomukti, Batik Khas Magetan
Hampir setiap daerah mempunyai tradisi membuat batik, salah satunya Kabupaten Magetan, yang terkenal dengan Batik Sidomukti.Desa yang merupakan sentra perajin batik di Magetan adalah Desa Sidomukti, Kecamatan Plaosan. Bagi para wanita di desa ini, menorehkan canting di atas kain bukanlah hal yang sulit. Sebab keahlian tersebut telah diperolehnya secara turun-temurun sejak tahun 1970-an.Sekilas, Batik Sidomukti tidak jauh berbeda dari batik daerah lainnya. Namun, sebenarnya Batik Sidomukti Magetan mempunyai ciri khusus pada motifnya, yakni motif “Pring Sedapur” atau serumpum bambu.
“Motif ini diambil dari rumpunan tumbuhan bambu yang tumbuh mengelilingi kawasan Dusun Papringan di Desa Sidomukti, tempat batik tulis ini dibuat untuk pertama kalinya. Waktu itu sekitar tahun 1970-an,” ujar Ketua Kelompok Perajin Batik Pring Sedapur, Mukti Rahayu, Umiyati (42), Jumat.
Kelompok Perajin Batik Mukti Rahayu ini memiliki anggota sebanyak 25 orang. Mereka semuanya adalah ibu-ibu asal desa setempat yang tetap tekun mempertahankan budaya asli Magetan dan Indonesia pada umumnya, agar tidak lekang oleh waktu.
Umiyati menerangkan, untuk membuat sebuah batik diperlukan kesabaran dan ketelitian. Pembatik di Desa Sidomukti mengaku tetap mempertahankan keaslian proses pembuatan batik secara tradisional. Tak heran jika pengerjaan sebuah batik membutuhkan waktu empat hari hingga satu minggu lamanya.
“Hal ini untuk mempertahankan keasliannya dan kepuasan konsumen. Meski demikian, perajin batik Sidomukti juga melayani batik cap untuk memenuhi kebutuhan pelanggannya. Jadi semua tergantung dari keinginan pelanggan. Batik tradisional atau tulis ada, demikian juga untuk batik cap juga tersedia,” katanya.
Dengan segala kekurangannya, Batik Pring Sedapur Magetan ini telah dijadikan sebagai salah satu ikon Kabupaten Magetan. Implementasinya, belasan ribu pegawai negeri sipil di seluruh Magetan telah memakai seragam dengan corak Pring Sedapur setiap hari tertentu.
Namun, Umiyati mengaku, secara umum keberadaan Batik Sidomukti sangat terpuruk. Keberadaan batik khas Magetan dengan motif Pring Sedapur ini, dari tahun ke tahun semakin kalah bersaing di tingkat pasar lokal akibat masuknya Batik Solo, Yogyakarta, dan Pekalongan.
“Meski Batik Pring Sedapur telah diakui oleh pemerintah daerah setempat sebagai batik khas Magetan, namun terus terang perhatian dari Pemkab Magetan sendiri dinilai masih kurang. Sehingga kami sulit berkembang. Hal ini diperparah dengan keberadaan batik dari daerah lain yang masuk Magetan,” ujar Umiyati.
Ia mengaku, batik tulis bermotif serumpun bambu ini rata-rata dijual seharga Rp65 ribu hingga Rp300 ribu untuk berbagai jenis kain. Pemasaran batik ini masih untuk pasar lokal, namun ada juga beberapa yang datang dari luar Magetan seperti Lamongan, Surabaya, dan Yogyakarta.
Belum dipatenkan
Lebih lanjut Umiyati menagatakan, meski sudah diakui oleh pemda setempat, namun batiknya belum memiliki hak paten. Meski tanpa hak cipta dan hak paten, kelompok perajin batik ini tetap berkarya. Bahkan kini, mereka telah banyak memodifikasi motif batik Pring Sedapur dengan motif tren selera pasar. Motif cendrawasih dan bermacam jenis bunga digabungkan dengan motif seonggok bambu.
Lebih lanjut Umiyati menagatakan, meski sudah diakui oleh pemda setempat, namun batiknya belum memiliki hak paten. Meski tanpa hak cipta dan hak paten, kelompok perajin batik ini tetap berkarya. Bahkan kini, mereka telah banyak memodifikasi motif batik Pring Sedapur dengan motif tren selera pasar. Motif cendrawasih dan bermacam jenis bunga digabungkan dengan motif seonggok bambu.
Para anggota kelompok pembatik ini mengaku, meski upah dengan yang sangat minim untuk perajin tersebut, namun mereka tetap terima lantaran tidak mempunyai kesibukan lain selain membatik. Sedikit banyak upah yang mereka terima, menjadi pendapatan pokok keluarga selain bertani.
Karena upah yang sangat minim tersebut, Umiyati dan perajin lainnya pun pesimistis, terkait kelanjutan regenerasi perajin batik Pring Sedapur. Umiyati mengatakan, banyak warga muda di sini yang enggan membatik. Mereka lebih senang setelah lulus dari sekolah langsung bekerja ke luar daerah ataupun ke luar negeri.
“Kami sangat pesimistis terhadap kelanjutan proses produksi batik khas Magetan ini. Pemuda di sini lebih menyukai kerja di kota besar seperti Jakarta, Surabaya dan Semarang,” kata Umiyati.
Meski demikian, di tengah berbagai kendala tersebut, pihaknya telah berkomitmen untuk terus mempertahankan dan mengembangkan batik, budaya bangsa yang telah dipatenkan keberadaanya di tingkat internasional oleh UNESCO, sebagai budaya dunia yang bernilai tinggi. *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar